Dampak Redenominasi Terhadap Bidang Perhotelan dan Restoran






















Wacana 1:

Sesat, Istilah Redenominasi

Sebagaimana istilah ekonomi lainnya, redenominasi bisa menjadi istilah licin yang dapat mengecoh pendengarnya. Licin karena penerapan redenominasi di banyak negara juga kerap tak mulus dan membutuhkan proses panjang. Ada negara yang berhasil menerapkannya, namun ada juga negara yang masih berkutat dengan masalah ekonominya meski redenominasi mata uang diterapkan.

Turki menjadi negara yang berhasil melakukan redenominasi mata uangnya, dengan memperkenalkan New Turkish lira. Namun di sisi lain, Korea Utara menjadi contoh negara yang masih mengalami masalah dengan redenominasi mata uang won-nya, yang dilakukan pada Desember 2009. Pasar gelap bermunculan dan masyarakat melarikan uangnya ke yuan ataupun dollar AS karena panik.


Oleh karena itu, penyebutan istilah redenominasi perlu dilakukan secara berhati-hati agar tidak menimbulkan gejolak dan keresahan. Langkah Bank Indonesia yang secara sigap menanggapi isu tersebut, dengan membuat banyak penjelasan di berbagai media, tentu patut kita hargai. Keresahan di publik perlu ditenangkan agar tidak menimbulkan biaya yang besar terhadap ekonomi kita yang sedang membaik ini.


Istilah redenominasi sebenarnya bukan sebuah hal asing dalam perekonomian. Denominasi mata uang berarti penyebutan satuan harga untuk mata uang suatu negara, baik dalam satuan koin ataupun kertas. Denominasi itu misalkan kita menyebut mata uang dengan besaran Rp 1.000, Rp 100.000, dan seterusnya.

Di sisi lain, istilah redenominasi berarti penyebutan kembali atau penyederhanaan dari satuan harga maupun nilai mata uang yang ada. Satuan Rp 1.000 disederhanakan menjadi Rp 1, misalnya. Hal ini berlaku menyeluruh ke harga-harga barang dan jasa di negara tersebut. Sepotong roti yang tadinya seharga Rp 1.000, juga disederhanakan menjadi Rp 1. Dalam hal ini, tidak ada yang dirugikan dari sistem redenominasi. Tujuannya adalah juga sebagai efisiensi penghitungan dalam sistem pembayaran.


Sebagaimana di jelaskan di berbagai media, redenominasi ini bukan sanering. Istilah terakhir ini adalah pemotongan uang. Bila sanering, maka nilai uang dipotong, namun harga-harga barang tetap. Sanering menyebabkan daya beli masyarakat terpangkas. Misalnya gaji kita besarnya Rp 5 juta, terkena sanering menjadi Rp 5. Sementara harga sepotong roti tetap Rp 1.000. Artinya, daya beli masyarakat akan menurun drastis dengan adanya sanering. Kita jadi tak mampu membeli roti lagi. Biasanya, sanering dilakukan dalam kondisi ekonomi yang tidak sehat dan inflasi yang melejit tidak terkendali.


Proses redenominasi tentu harus dilakukan bertahap dan dengan perhitungan yang ketat. Namun, tentu permasalahan tidak sesederhana kelihatannya. Sebelum melakukan redenominasi, ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi.

Pertama, inflasi harus berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil. Kedua, stabilitas perekonomian terjaga dan jaminan stabilitas harga. Ketiga, kesiapan masyarakat harus ada. Aspek ketiga inilah yang perlu dipertimbangkan matang-matang. Kesiapan psikologis masyarakat adalah hal terpenting bagi efektifnya suatu kebijakan. Banyak sudah kebijakan publik yang baik secara teori, namun gagal di lapangan karena kesiapan publik yang belum ada.

Akibatnya akan muncul salah kaprah di masyarakat yang mengganggu gerak perekonomian kita. Isu redenominasi rupiah memang harus dihindarkan dari simpang siur gejala. Keresahan dapat menyebabkan psikologi pasar terganggu dan berdampak pada perekonomian kita.
(Junanto Herdiawan/Kompasiana)

Wacana 2:

Redenominasi Rupiah Berlaku Mulai 2013

JAKARTA, SRIPO — Redenominasi atau pemotongan nilai pecahan tanpa mengurangi nilai rupiah akan diberlakukan pada tahun 2013. Nantinya, gaji sebesar Rp 5 juta akan menjadi sama dengan nilai Rp 5.000. Baik Bank Indonesia maupun pemerintah meminta masyarakat tidak risau dengan rencana redenominasi tersebut.

“Kita bisa mulai paling cepat 2013. Tidak bisa tahun depan karena ada proses sosialisasi. Jadi Ini cerita tiga tahun lagi baru kita lihat wujudnya di masyarakat,” tegas Pjs Gubernur BI Darmin Nasution dalam konferensi pers di gedung BI Jakarta, Selasa (3/8).

Menurut Darmin, redenominasi tidak bisa diterapkan dalam waktu dekat karena butuh persiapan dan komitmen nasional serta dukungan DPR dan persetujuan Presiden. Ditegaskan Darmin, redenominasi tidak akan merugikan masyarakat karena berbeda dengan sanering atau pemotongan uang. “Redenominasi ini sama sekali tidak akan merugikan siapa-siapa jadi tidak usah risau dan resah. Kalau gajinya misalnya Rp 5 juta per bulan dan seandainya nanti ada uang baru menjadi Rp 5.000 maka itu bukan persoalan,

Deputi Gubernur BI bidang Peredaran Uang Budi Rochadi mengatakan keputusan redenominasi rupiah tidak hanya keputusan ekonomi, melainkan juga menjadi keputusan politik. Tugas BI mempersiapkan programnya dan laporkan ke Presiden dan keputusan tidak hanya di BI tapi juga di (tangan) Presiden

Wacana 3:

Bukan Barang Baru Bagi Hotel dan Restoran

04 Aug 2010

Sumber: Pikiran Rakyat

REDENOMINASI rupiah sebenarnya bukanlah barang baru. Saat ini, sejumlah restoran, kafe, dan hotel berbintang sudah melakukannya dalam buku daftar harga menu mereka. Sebagian besar melakukannya dengan alasan kepraktisan dan estetika buku menu.

Hotel Aston Braga Bandung misalnya, sudah beberapa waktu terakhir melakukan penyederhanaan tersebut dalam beberapa buku menunya, walaupun belum menyeluruh. Menurut Public Relations (PR) Manager, Diah Suhandi, langkah itu dilakukan semata-mata untuk alasan kepraktisan dan estetika buku menu.

Istilah Sunda-nya, membubuhkan tiga nol di belakang harga yang menunjukkan nominal ribuan itu rencet. Alasan lainnya untuk estetika saja. Selama ini, konsumen pun tidak ada yang kebingungan atau salah menafsirkan. Mereka juga sudah mengerti, tidak mungkin ada harga makanan, misalnya Rp 50 per porsi. Pasti asumsinya Rp 50.000," kata Diah.

Namun, menurut dia, sejauh ini Aston Braga belum secara konsisten menerapkan kebijakan tersebut pada semua buku menunya, hanya sebagian. Dengan atau tanpa adatiga nol yang menunjukkan nominal ribuan, menurut Diah, sejauh ini tamu, baik lokal maupun asing, tidak ada yang merasa terganggu.

"Kalaupun ditulis Rp 50.000 misalnya, tamu dari luar negeri tidak ada yang mengasumsikan bahwa harga makanan itu terlalu mahal. Mereka umumnya sudah mengerti dan paham bahwa itu ditulis dalam satuan rupiah, yang memang nominalnya besar," ujar Diah.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat (Jabar), Herman Muchtar mengatakan, selama ini penulisan harga makanan diserahkan kepada setiap manajemen hotel dan restoran. Tidak ada imbauan atau kesepakatan.

"Penulisan seperti itu di hotel dan restoran sudah biasa, sudah dilakukan beberapa tahun terakhir. Kebanyakan dilakukan oleh hotel bintang lima dan restoran-restoran besar. Semua diserahkan pada kreativitas dan kebijakan masing-masing manajemen," katanya.

Namun, ia menambahkan, jika pemerintah akan melaksanakan hal tersebut, pemerintah harus melakukan sosialisasi dengan benar. Selain itu, proses penyederhanaan harga pun harus diawasi sehingga tidak ada kenaikan harga akibat redenominasi tersebut. (Rika Ratlin iau ali/\ ul istyne Ka-sumaningrum/TRT**

Analisa :

Menurut berita yang beredar, Redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah akan mengefektifkan kinerja Bank Indonesia (BI). Langkah BI akan lebih mudah dalam mengontrol peredaran rupiah serta operasi moneter. Saat ini nilai rupiah memiliki angka yang besar sehingga sulit dalam perhitungan dan pengembalian dalam transaksi. Dengan adanya penyederhanaan ini, maka transaksi angka lebih sedikit tetapi nilainya tetap sama, sehingga dapat mempermudah dalam bertransaksi.

Dalam kebijakan ini akan timbul pro dan kontra. Namun hal itu masih dianggap wajar. Karena banyak pihak yang belum memahami secara penuh apa arti redenominasi. Oleh karena itu peran pemerintah sangat besar dalam menyosialisasi wacana redenominasi kepada masyarakat. Sehingga kebijakan redenominasi ini akan berjalan dengan lancar, dan masyarakat tidak menjadi resah dengan adanya kebijakan seperti ini.

Redenominasi atau pengurangan nominal rupiah hanya memberikan efek psikologis ke pasar saham. Jika rencana itu tersosialisasi dengan baik, maka pasar saham tidak terpengaruh dan bisa bergerak dengan normal lagi.

Dalam bidang perhotelan dan restoran, redenominasi rupiah sebenarnya bukanlah hal yang baru. Karena sudah banyak hotel dan restoran berbintang sudah melakukannya dalam buku daftar harga mereka. Hal tersebut dilakukan dengan alasan kepraktisan dan estetika buku menu. Sehingga jika pemerintah menetapkan kebijakan tersebut tidaklah bermasalah dan berpengaruh besar pada bidang tersebut. Selain itu para pengunjung juga sudah terbiasa dengan penulisan pada daftar harga tersebut. Namun tidak semua pengunjung mengetahui hal tersebut, baik pengunjung dari dalam negeri maupun mancanegara. Dan jika digambarkan pada kurva supply dan demand setelah dilakukan redenominasi harga akan tetap stabil begitu pula dengan jasa yang dberikan. Karena redenominasi ini tidak berpengaruh secara signifikan baik dari supply dan demandnya. Berikut ini gambar kurvanya :




Dari kurva tersebut dapat dijelaskan bahwa kurva S(supply sebelum terjadi redenominasi) sama dengan kurva S’(supply setelah terjadi redenominasi) dan kurva D(demand sebelum terjadi redenominasi) sama dengan kurva D’(demand setelah terjadi redenominasi). Kurva S dan D tidak mengalami pergeseran antara sebelum dan setelah terjadi redenominasi. Sehingga akan dihasilkan titik E=E’(ekuilibrium/titik keseimbangannya sama). Maka harga dan jumlah barangnya akan tetap tidak terpengaruh.


Sumber :

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/08/04/10225992/Sesat.Istilah.Redenominasi#

http://www.sripoku.com/view/43044/redenominasi_rupiah_berlaku_mulai_2013

http://bataviase.co.id/node/325929




Photo Gallery